MEWUJUDKAN PENDIDIKAN KARAKTER DAN KETERAMPILAN ABAD KE-21 DENGAN PENGAJARAN SASTRA UNTUK PESERTA DIDIK JENJANG SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

MEWUJUDKAN PENDIDIKAN KARAKTER DAN KETERAMPILAN ABAD KE-21 DENGAN PENGAJARAN SASTRA UNTUK PESERTA DIDIK JENJANG SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Gregorius Agung Dwi Wardoyo SMP Pangudi Luhur Jakarta
SITUASI POKOK
Pendidikan merupakan investasi penting dan menjadi prasyarat peradaban sebuah bangsa. Esensinya bahwa pendidikan adalah jalan penguatan dan penanaman nilai budaya bangsa, atau dalam pandangan Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara (dalam Yamin, 2009) sebagai jalan memanusiakan manusia. Oleh karena itu, ditegaskan Kemendikbud (2018) bahwa ‘pendidikan dan kebudayaan’ selalu menjadi isu pokok dan agenda utama tiap periode pemerintahan karena merupakan ‘janji kemerdekaan’ yang harus dilunasi oleh segenap komponen bangsa. Berkaitan dengan dinamika global pendidikan abad 21, menurut pantauan Kemendikbud (2020) terdapat empat tren yang perlu diperhitungkan, yaitu: (1) kemajuan teknologi yang mendorong Revolusi Industri 4.0, (2) pergeseran demografi dan profil sosio-ekonomi, (3) meningkatnya kebutuhan energi dan air, serta (4) perubahan dunia kerja masa depan.
Menyikapi hal tersebut, maka sekolah sebagai lembaga pendidikan harus memiliki layanan bermutu dalam menumbuhkan karakter (Lickona, 2013; Malik et al., 2019), memenuhi harapan dan nilai-nilai masyarakat (Turkkahraman, 2015), serta mempersiapkan kecakapan pokok abad 21 (Trilling dan Fadel, 2009; WEF, 2015). Seiring dinamika pendidikan di atas, kini capaian sekolah di Indonesia tengah menghadapi dua masalah fundamental, yaitu memudarnya karakter dan rendahnya kemampuan literasi peserta didik (Kemendikbud, 2018:19-28). Padahal dua persoalan ini, merupakan titik pijak kecakapan abad 21. Hal ini sebagaimana direkomendasikan oleh World Economic Forum (2015) bahwa dalam rangka menghadapi abad 21, pendidikan harus fokus pada tiga poros kecakapan, yaitu: (1) kemampuan literasi dasar; (2) kompetensi; dan (3) kualitas karakter.
Tafsir lain yang dapat diajukan, secara sistemik memudarnya kualitas karakter dan kompetensi peserta didik disinyalir akibat rendahnya kemampuan literasi. Oleh karena itu, literasi pintu masuk meningkatkan kualitas pendidikan. Gagasan ini ditegaskan dalam dokumen berjudul Reading the Past, Writing the Future: Fifty Years of Promoting Literacy (UNESCO, 2017) bahwa “literacy is central to all levels of education“, Seturut itu, Effendy (2017) menyatakan bahwa bangsa yang besar ditandai dengan masyarakatnya yang literat. Hanya melalui literasi, jalan menguasai ilmu pengetahuan dan kecakapan hidup lainnya dapat dicapai. Bahkan, UNESCO (2017) sampai pada kesimpulan bahwa literasi adalah hak semua bangsa, “literacy for all encompasses the educational needs of all human beings in all settings and contexts“.
Sementara itu, di Indonesia tingkat literasi masyarakatnya tergolong rendah, padahal di era 4.0 yang ditandai dengan penggunaan teknologi modern, meluapnya informasi dan cepatnya informasi tersebar menuntut kemampuan literasi yang tinggi. Kemampuan literasi tinggi yakni kemampuan membedakan fakta dan opini sekaligus menganalisis fenomena dalam informasi dan merefleksikannya. Pengajaran mengenai literasi di sekolah salah satunya dengan pengajaran sastra. Di dalam pengajaran sastra itu meliputi membaca karya sastra, menganalisis karya sastra, menilai serta mengapresiasi karya sastra. Dengan demikian, pengajaran sastra menciptakan generasi kritis yang mampu menghadapi tantangan zaman era 4.0 ini. Namun sayangnya pengajaran sastra pada pendidikan nasional Indonesia kurang mendapat perhatian. Sastra dianggap tidak terkait langsung dengan dunia kerja atau profesi yang kelak peserta didik inginkan.
Di Indonesia, persoalan yang sering muncul terkait dengan literasi sastra saat ini adalah bahwa sebagai salah satu bentuk karya seni yang berbentuk teks, fungsi dan peran sastra di era digital saat ini semakin tergerus. Kemunculan media sosial sebagai dampak era digital setidaknya menimbulkan beberapa masalah dalam dunia komunikasi yang erat kaitannya dengan kegiatan “bersastra”. Masalah-masalah itu menurut Haryatmoko (2020) antara lain (1) Penyebaran berita palsu dan kebanalan kebohongan; (2) Dampak psikologi yang merugikan pengguna media sosial serta lemahnya intuisi kewaspadaan; (3) Munculnya era post truth menggerus kredibilitas informasi; dan (4) Berkembangnya jurnalisme warga.
INSPIRASI
Masalah pertama, yaitu penyebaran berita palsu dan kebanalan kebohongan. Di era media sosial seperti saat ini, kebohongan menjadi hal biasa. Pada umumnya, mereka yang menyebarkan berita bohong tidak memiliki kepekaan tanggung jawab secara moral. Kebohongan dianggap hanya sekadar kesalahan berkata dan diselesaikan dengan klarifikasi. Selain itu dalam bermedia sosial fakta menjadi nomor dua sehingga opini mengalahkan data. Cara menyampaikan menjadi lebih penting daripada pesan itu sendiri. Pengguna media sosial mengutamakan “yang penting viral” dan menomorduakan informasi dan etika berkomunikasi. Di era media juga menimbulkan mentalitas instan, yaitu perilaku yang selalu ingin mendapat feedback seperti like, komen dan subscribe. Di era media sosial jumlah like dan subscribe menjadi ukuran prestasi.
Masalah kedua, yaitu dampak psikologi untuk pengguna media sosial. Masalah psikologi yang timbul bagi pengguna media sosial umumnya lemahnya intuisi kewaspadaan bahwa diri mereka dirugikan, misalnya data privasi diri dicuri, dimanfaatkan, bahkan terjadi penipuan. Selain itu, dampak yang lain adalah informasi palsu di media sosial mampu memanipulasi psikologi yang membuat individu tidak yakin dengan dirinya, merasa dirundung, merasa tidak berarti dan bahkan frustasi. Masalah ketiga, yaitu maraknya era post truth. Post truth merupakan kondisi di mana objektivitas dan rasionalitas dikalahkan emosi. Orang tidak percaya lagi dengan fakta objektif melainkan cenderung pada emosi dan keyakinan terhadap sesuatu. Dengan kata lain emosi dan keyakinan mendominasi dan membangun opini yang diterima orang banyak.
Masalah keempat, yaitu berkembangnya “jurnalisme warga”. Jurnalisme warga berarti setiap orang yang memiliki media sosial mampu memproduksi informasi atau berita. Jurnalisme warga ini dalam memproduksi informasi tidak mempertimbangkan sumber yang tepat dan terpercaya. Jurnalisme warga biasanya cenderung mementingkan sensasi, tidak jujur dan tidak menaruh hormat terhadap individu terutama privasi pengguna media sosial. Selain itu jurnalisme warga tidak mempertimbangkan keharmonisan di masyarakat. Masalah keempat ini erat kaitannya dengan kemampuan berliterasi, yaitu kegiatan membaca, menulis dan mengapresiasi bacaan. Persoalan keempat inilah sebenarnya dampak dari kurangnya perhatian terhadap sastra yang di dalamnya memuat aktivitas membaca, menganalisis, membandingkan, mengkritisi, berempati dan menginterpretasi. Lemahnya kegiatan membaca atau mengkaji karya sastra berdampak pada masyarakat secara luas, terutama masyarakat yang bermedia sosial.
Era 4.0 ditandai dengan penggunaan teknologi modern, meluapnya informasi dan cepatnya informasi tersebar. Era 4.0 merupakan fase keempat dari revolusi manusia, yaitu manusia memproduksi informasi. Di Indonesia era 4.0 merupakan era yang sebenarnya tidak linear dengan era sebelumnya yaitu era 3.0 atau digitalisasi. Hal ini berdampak pada tingkat kemampuan literasi masyarakat Indonesia yang tidak merata dan sebagian besar masih terbilang rendah. Bangsa kita secara keseluruhan bukan merupakan bangsa yang suka membaca (Saleh, 2007), melainkan bangsa yang suka berbicara. Tradisi lisan memang lebih dipercaya di Indonesia sebagai sumber informasi, sehingga tak mengherankan jika kabar bohong marak dan sulit untuk dikendalikan. Di sinilah kaitan munculnya masalah-maslah etika komunikasi di era digital dengan sastra atau keberaksaraan. Masyarakat yang bercorak keberaksaraan, cenderung mengecek kebenaran informasi.
Pengajaran sastra di sekolah yang seharusnya mampu menumbuhkan sikap empati, kreatif, kritis dan kemampuan menganalisis justru kurang diprioritaskan di Indonesia. Duhan (2015, p. 200) memberikan contoh tentang pentingnya studi sastra dalam sebuah bangsa. Dalam mengkaji sastra Inggris, misalnya, seseorang akan bisa memahami “… the wide field of English history, by which we mean the history of English politics and society, manners and customs, culture and learning, and philosophy and religion.” Tulisan ini akan membahas lebih rinci peranan sastra sebagai pembentukan karakter peserta didik. Selain itu, melalui pengajaran sastra yang komprehensif, diharapkan mampu menumbuhkan sikap kritis dan kemampuan analitis peserta didik dalam menerima informasi yang serba cepat di era digital saat ini.
RENCANA
Di era digital atau industri 4.0 ini menuntut semua orang termasuk peserta didik untuk berpikir kritis dalam menerima informasi serta memberikan informasi. Ada tiga masalah utama apabila peserta didik tidak mampu berpikir kritis di era digital saat ini, yakni (1) para peserta didik akan menjadi korban dari berita bohong serta tidak bisa lagi membedakan antara fakta dan opini; (2) para peserta didik akan menjadi pelaku penyebaran kabar bohong dan informasi/konten yang tujuannya untuk popularitas semata; dan (3) para peserta didik akan kehilangan kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial yang akan berperan penting bagi masa depan mereka.
Kemampuan berpikir kritis dan mengolah emosi dapat ditumbuhkan salah satu caranya adalah dengan pengajaran sastra yang intens dan komprehensif. Sastra dalam hal ini adalah puisi, prosa dan drama. Selain melatih untuk berpikir kritis, analitis dan mengolah perasaan, sastra akan membentuk karakter peserta didik yang sangat penting, yakni memiliki empati dan mengasah daya cipta (kreatif) dalam diri peserta didik.
AKSI NYATA
HAKIKAT SASTRA DAN FUNGSINYA
Hakikat Sastra
Secara umum karya sastra memiliki peranan yang penting sebagai rekaman yang mampu mencerminkan atau mengekspresikan kehidupan. Menurut Teeuw (1984) bahwa sastra adalah produk suatu masyarakat, yang dimungkinkan mampu mencerminkan kehidupan masyarakatnya. Ekspresi cerminan kehidupan dalam karya sastra merupakan gabungan antara narasi, imajinasi dan realitas. Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2015, p. 2), sastra merupakan sebuah karya imajinatif, kreatif, dan juga estetis. Menurut Soemarjo, sastra merupakan ungkapan pengalaman manusia dalam bentuk bahasa yang ekspresif dan mengesan. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sastra adalah ungkapan manusia dalam bentuk bahasa secara kreatif, ekspresif dan juga menggambarkan lingkungan di mana dia tinggal.
Peran imajinasi pengarang bersifat menentukan konstruksi realita seperti apa yang ingin ditampilkan. Proses mencipta karya sastra sebagai ekspresi cermin realita, sastrawan bisa membayangkan situasi tertentu yang mungkin terjadi. Bahkan situasi yang diharapkan oleh sastrawan sendiri. Hal ini dikarenakan sastrawan tidak memiliki kuasa dan kapasitas untuk keadaan di dunia nyata. Sastrawan hanya bisa menawarkan alternatif di dalam karya sastranya serta membangun dunia yang ia idealkan. Namun begitu, bagi pembaca “alternatif-alternatif” kehidupan yang ada di dalam karya sastra menjadi sumber inspirasi bagi penikmat sastra.
Untuk dapat memahami dan menikmati keindahan karya sastra, seorang penikmat sastra harus dapat menganalisis dan mengapresiasi isi dari karya sastra itu sendiri. Sastra menyajikan kehidupan manusia dan kehidupan itu sebagian besar berhubungan dengan kenyataan sosial dan nilai moral dalam masyarakat. Penikmat sastra biasanya membaca karya sastra sebagai pengisi waktu luang atau hiburan saja, akan tetapi ada beberapa penikmat sastra yang ingin memperoleh suatu pengalaman baru dari apa yang dibacanya dan ingin menambah wawasan atau pengetahuan untuk memperkaya batinnya (Soemarjo, 1986: 25).
Fungsi Sastra
Setelah mengenali definisi dan tiga genre sastra, tentu kita patut mempertanyakan apa fungsi sastra? Menurut Wellek dan Warren (1990, p. 25) fungsi karya sastra adalah dulce et utile, yang berarti indah dan bermanfaat atau berfungsi untuk menghibur dan mendidik. Keindahan yang ada dalam karya sastra dapat menyenangkan penikmatnya. Menyenangkan dalam hal ini berarti dapat memberikan hiburan bagi penikmat karya sastra dari tema yang mendasarinya dan gramatika bahasa yang digunakan. Sementara manfaat yang didapat ketika membaca dan memirsa karya sastra adalah terinspirasi terhadap nilai-nilai yang ada di dalam karya sastra. Fungsi manfaat menurut Horace juga sering dipahami sebagai manfaat mendidik, karena melalui sastra ada nilai-nilai pengetahuan dan kebijaksanaan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Semi, (1990: 1) bahwa karya sastra tidak hanya dinilai sebagai karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi saja, tetapi telah dianggap suatu karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di samping konsumsi emosi.
Pandangan Weren dan Semi di atas memperlihatkan pengaruh sastra bagi kehidupan manusia sastra mampu memberikan nilai-nilai yang bermutu baik, memberi inspirasi serta memotivasi pembaca dan masyarakat untuk bangkit dari kegagalan atau masa suram kepada kehidupan yang lebih baik. Selain kedua fungsi di atas, Sujarwa (2019) menjelaskan bahwa karya sastra memiliki fungsi kultural. Fungsi kultural ini lebih menempatkan pemahaman bahwa karya sastra adalah salah satu produk budaya, yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki kapasitas untuk memajukan kebudayaan. Dalam hal ini karya sastra sebagai salah satu bentuk karya seni merupakan hasil karya manusia yang berposisi menjadi salah satu produk budaya (Sujarwa, 2019, p. 15). Latar belakang sosial budaya sastrawan memang tidak dapat lepas dari karyanya, baik memberi pengaruh, maupun menjadi tujuan pengarang memperkenalkan budayanya. Tidak hanya nilai budaya saja yang terkait dengan karya sastra, di Indonesia karya sastra juga menawarkan nilai-nilai spiritual.
Dalam khazanah sastra Indonesia, baik dalam periode klasik maupun modern, karya sastra yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan yang bersifat spiritual, mistik dan atau pesan kerohanian dan religiusitas serta berbagai hal yang menjadi soal utama keagamaan, selalu muncul dalam bentuknya yang beragam (Sayuti, 2003, p. 177). Dalam sejarah sastra Indonesia, sejumlah pujangga besar yang juga pernah menyampaikan pesan agama tanpa harus meninggalkan estetika sastra, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya, Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Yasadipura I. Oleh karena itu tidak heran jika kemudian muncul usaha-usaha untuk merumuskan karya mereka sebagai sastra religius, sufisme, atau sastra yang berdimensi transendental (Mahayana, 2005: 71). Lebih lanjut Mangunwijaya (1982: 54 -55) mengatakan bahwa religiusitas adalah konsep keagamaan yang menyebabkan manusia bersikap religius. Religiusitas merupakan bagian dari kebudayaan dan sistem dari suatu agama yang satu dengan agama yang lain memiliki sistem religi yang berbeda.
Selain itu karya sastra sangat terkait erat dengan masyarakat dan kebudayaan yang beragam. Menurut Bambang (2018), dalam studi sastra, baik di dunia Barat maupun Timur, para sarjana sepakat bahwa dari masa ke masa, sastra sekalipun bukan merupakan dokumen sosiologis maupun antropologis, merupakan bahan yang amat kaya untuk mempelajari masyarakat dan kebudayaannya. Sastra sebagai refleksi kenyataan memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakatnya atau bahkan “memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap kehidupan” (Rismawati, 2017).
Dalam masyarakat kontemporer Indonesia, sastra memiliki fungsi dan peran yang bisa mempererat persatuan (Bambang, 2018). Dengan mewujudkan fungsi dan peran karya sastra seperti ini, sebagai bangsa kita berharap memiliki rasa simpati, empati, dan penghargaan yang lebih tinggi kepada masyarakat dan kebudayaan kita sendiri. Pada akhirnya, sastra menjadi salah satu sarana untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang egaliter, saling memahami dan menghargai (Bambang, 2018). Artinya dalam pengajaran sastra memuat nilai pendidikan multikultural yang menghargai berbagai kebudayaan. Tujuan pendidikan multikultural adalah mendidik para peserta didik untuk tidak hanya memahami melainkan juga menerima dan menghargai perbedaan dalam kebudayaan, ras, kelas sosial, agama dan gender (Hoosain, 2001). Dengan kata lain, dalam konteks masyarakat kontemporer saat ini, sebenarnya kita bisa memanfaatkan sastra sebagai perekat bangsa, memperkaya budaya dan bahasa serta membangun karakter bangsa (olah rasa, analitis, kritis dll).
GENRE SASTRA DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN
Di dalam karya sastra terdapat tiga genre yang dikategorikan berdasarkan bentuk dan isinya. Ketiga genre itu meliputi puisi, prosa, dan drama (play). Pertama adalah puisi. Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan penuh makna. Menurut H. B. Jassin, puisi adalah sebuah pengucapan dengan sebuah perasaan yang di dalamnya mengandung sebuah pikiran-pikiran dan tanggapan-tanggapan. Kedua adalah prosa. Prosa dapat berbentuk cerita pendek atau novel. Selain itu menurut Nurgiyantoro (2015), novel dan cerpen atau cerita pendek sebagai konotasi dari fiksi. Novel dan cerpen merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Dilihat dari bentuknya, prosa adalah karya sastra yang ditulis secara panjang. Sedangkan puisi ditulis secara singkat berbentuk bait yang terdiri dari beberapa baris. Genre karya sastra terakhir adalah drama. Drama secara umum adalah upaya mementaskan prosa atau naskah drama yang sudah disusun. Dengan kata lain, drama merupakan seni peran. Pementasan drama biasa melibatkan panggun, para aktor, dan juga penonton.
Prosa: Novel dan Cerpen
Pada dasarnya novel dan cerpen sebagai salah satu jenis karya sastra telah menjadi teks yang umum dibaca dan dibicarakan oleh masyarakat. Novel dan cerpen merupakan karya sastra yang berbentuk teks narasi. Teks narasi ditandai dengan adanya urutan waktu atau hubungan kronologis, sehingga jenis teks seperti ini cenderung beralur maju. Menurut Kosasih (2012), novel merupakan karya imajinasi yang bercerita mengenai sisi utuh atas persoalan hidup seseorang atau kelompok. Perbedaan antara novel dan cerpen terletak pada kekompleksan unsur pembangunnya. Baik novel maupun cerpen di dalamnya terdapat tema/konflik, tokoh, penokohan, latar, alur dan sudut pandang. Menurut KBBI cerpen atau cerita pendek merupakan kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi (pada suatu ketika). Hal ini seperti yang diungkapkan Nurgiyantoro (2015), dibandingkan dengan novel, tokoh-tokoh cerpen lebih lagi terbatas, baik yang menyangkut jumlah maupun data-data jati diri tokoh, khususnya yang berkaitan dengan perwatakan, sehingga pembaca harus merekonstruksi sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh ini.
Implementasi novel dalam pembelajaran di kelas antara lain, (1) guru memberi tiga buku novel yang akan dibaca dalam satu tahun. Pada tahap ini guru sebaiknya memilih novel yang sudah dibaca dan dipahami oleh guru dengan baik serta tiga novel tersebut sebaiknya tidak terlalu tebal; (2) setiap bulan sekali guru dan peserta didik menyepakati dua jam pelajaran digunakan untuk diskusi mengenai buku bacaan setiap peserta didik serta membagikan kesan apa saja yang ditemukan dalam proses pembacaan; dan (3) setiap peserta didik membuat catatan mengenai novel yang mereka baca. Catatan ini nantinya berupa ulasan atau penilaian karya sastra, dalam hal ini novel. Ulasan yang dilakukan oleh peserta didik secara opsional bisa dibuat buku kelas atau angkatan.
Implementasi cerpen dalam pembelajaran di kelas antara lain, (1) sebagai awal pembelajaran, peserta didik diminta untuk menceritakan kisah mereka yang paling berkesan dalam bentuk cerpen. Pada tahap ini, peserta didik diberi kebebasan berkisah; (2) pada tahap kedua, peserta didik diminta membaca kembali cerita yang sudah mereka tulis lalu mengeditnya menjadi cerita narasi yang berpedoman pada urutan waktu, yakni memiliki plot cerita, tema, dan karakterisasi. Peserta didik di sini belajar menggunakan logika berbahasa agar pesan yang disampaikan dapat diterima oleh pembaca; dan (3) peserta didik membacakan cerita mereka di depan kelas dan peserta didik lain memberi penilaian. Pada tahap ini, peran guru adalah sebagai konfirmator atau memberi penegasan di akhir pembelajaran.
Puisi
Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata betul-betul terpilih agar memiliki kekuatan pengucapan dan mampu memancing imaji pembaca. Walaupun singkat atau padat, namun berkekuatan (Waluyo, 2003, p. 1). Oleh karena itu seorang penyair sungguh-sungguh memilih kata-kata untuk menulis puisinya. Pemilihan kata-kata itu selain memberi kekuatan pada makna kata dan menimbulkan bunyi yang indah juga memancing imajinasi pembacanya. Dalam puisi, makna sifatnya abstrak, maka harus dijelaskan dengan komponen bunyi.
Selain puisi memang terikat pada rima dan irama, isi puisi umumnya ungkapan ekspresi dan pengalaman penulisnya. Pada pembelajaran di kelas, implementasi pengajaran puisi antara lain, (1) peserta didik diberi kebebasan untuk menulis puisi berdasarkan perasaan dan pengalaman yang mereka alami satu Minggu yang telah lewat; (2) pada tahap ini guru bisa mengajarkan memilih diksi yang memiliki bunyi yang sama (rima), untuk judul dan tema puisi disesuaikan dengan perasaan dan pengalaman peserta didik masing-masing (3) pada tahap ini guru dan peserta didik berdiskusi mengenai pentingnya kekayaan kosakata, pengetahuan, dan membuat kalimat yang efektif sebagai bahan dasar membuat puisi; (4) pada tahap ini guru memberikan sedikit materi mengenai syarat membuat puisi yang baik, misalnya rima, imaji, jumlah kata pada setiap baris, jumlah baris pada setiap bait dan jumlah bait pada satu puisi yang utuh; dan (5) pada tahap ini guru dan peserta didik dapat mendiskusikan puisi-puisi yang peserta didik buat dan mulai merefleksikan pentingnya puisi sebagai sebuah hasil pemikiran yang memiliki makna atau nilai bukan semata-semata alat untuk curahan hati yang subjektif.
Drama
Drama pada dasarnya seni peran, bagaimana kesediaan seseorang atau aktor memerankan orang lain atau tokoh rekaan. Menurut KBBI, drama komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (peran) atau dialog yang dipentaskan. Upaya menghidupkan tokoh-tokoh yang ada dalam teks biasa disebut dramatisasi atau dramatik. Dramatik atau mendramatisir suatu pementasan drama bukan semata-mata membacakan bertekanan tinggi atau nada marah, melainkan menggunakan teknik intonasi, jeda dan tempo yang tepat yang disesuaikan dengan suasana. Dramatik juga erat kaitannya dengan mimik dan gestur dengan lagu atau musik yang melatarbelakangi pementasan. Bahasa drama adalah bahasa yang interaktif bukan bahasa komunikatif. Ketika menonton pementasan drama, kita akan mengalami interaksi itu serta membangkitkan imaji.
Pada pembelajaran di kelas, implementasi pengajaran drama antara lain, yakni (1) pada tahap pertama guru dan peserta didik menyepakati dan mulai merencanakan pementasan drama pada tengah semester; (2) pada tahap ini peserta didik mulai berlatih drama dengan melakukan dramatic reading (membaca secara dramatik); (3) pada tahap ini guru mulai menjelaskan esensi drama sebagai seni berperan dan menciptakan suasana menjadi dramatik penuh makna dalam sebuah pementasan; (3) pada tahap ini guru mulai mengajarkan mengenai pentingnya olah vokal, pelafalan, ekspresi dan gestur yang mendukung; dan (4) pada tahap ini peserta didik diberi kebebasan untuk menyiapkan perlengkapan drama seperti properti pendukung, kostum, rias, soundtrack musik dan lain-lain.
PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS SASTRA (CERPEN)
Berdasarkan hasil asesmen diagnostik non-kognitif di awal pembelajaran, dapat diperoleh gambaran bahwa sikap peserta didik terhadap kegiatan membaca dan menulis sangat rendah. Mereka kurang tertarik, bahkan merasa jenuh untuk mengikuti pembelajaran. Kondisi tersebut membawa dampak yang negatif terhadap motivasi belajar, kemampuan membaca, dan menulis peserta didik. Setelah mengetahui hasil dari asesmen diagnostik non-kognitif tersebut, maka penulis mencari metode yang tepat untuk menumbuhkan motivasi dan minat belajar peserta didik dengan menerapkan salah satu metode, yaitu metode pembiasaan membaca novel selama 15 menit sebelum pembelajaran dilakukan. Adapun langkah-langkah untuk melakukan pembiasaan membaca 15 menit:
- Membuat kesepakatan dengan peserta didik di awal pembelajaran terkait pembiasaan 15 menit membaca sebelum pembelajaran.
- Buku yang dibawa dan dibaca bukan buku pelajaran, namun buku prosa yang dimiliki peserta didik.
- Bekerja sama dengan perpustakaan untuk peminjaman buku apabila peserta didik tidak ada buku bacaan di rumah.
- Saat membaca, peserta didik duduk tegak dengan tenang tanpa bicara, guru memutarkan instrumen lagu dan ikut membaca bersama peserta didik.
- Jika ada peserta didik yang menyelesaikan buku bacaannya, diminta untuk menceritakan buku yang sudah dibaca di depan kelas.
- Guru memberikan apresiasi kepada peserta didik yang selesai membaca.
Setelah kegiatan pembiasaan 15 menit membaca sebelum pembelajaran, proses yang dilakukan secara konsisten memberikan dampak yang positif. Dampak positif itu antara lain sebagai berikut.
- Menumbuhkan minat baca peserta didik.
- Peserta didik lebih fokus dalam pembelajaran.
- Peserta didik memiliki waktu khusus untuk membaca buku sesuai dengan buku yang diminati.
- Membantu peserta didik untuk menambah kosa kata baru dan rasa untuk menghargai buku.
- Meningkatkan interaksi antara peserta didik dengan guru.
- Meningkatkan prestasi belajar peserta dari prestasi sebelumnya, salah satunya menulis buku dengan judul Jendela Imajinasi.
- Pendidikan Karakter yang ditumbuhkan melalui pengajaran sastra
Pendidikan karakter merupakan salah satu tujuan utama pendidikan nasional sejak dahulu hingga saat ini. Pendidikan karakter yang dimaksud menumbuhkan karakter peserta didik yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, mencintai budaya dan mampu mengolah emosi. Di dalam kurikulum terbaru, yakni kurikulum merdeka pendidikan karakter yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila yang sering disebut dengan istilah Profil Pelajar Pancasila.
Menurut Satria (Satria, 2024, p. 1), Profil Pelajar Pancasila dirancang untuk menjawab satu pertanyaan besar, yakni peserta didik mampu dengan profil (kompetensi) seperti apa yang ingin dihasilkan oleh sistem pendidikan Indonesia. Lebih lanjut Satria (2024) Kompetensi Profil Pelajar Pancasila memperhatikan faktor internal yang berkaitan dengan jati diri, ideologi, dan cita-cita bangsa Indonesia, serta faktor eksternal yang berkaitan dengan konteks kehidupan dan tantangan bangsa Indonesia di abad ke-21 yang sedang menghadapi masa revolusi industri 4.0.
Di masa revolusi industri 4.0 saat ini, sekolah dituntut untuk memiliki keterampilan berpikir kreatif (creative thinking), berpikir kritis (critical thinking) dan pemecahan masalah (problem solving), komunikasi (communication), serta berkolaborasi atau kerja sama (collaboration), yang biasa disebut dengan 4C (Septikasari, 2018). Pembelajaran sastra memiliki kontribusi besar dalam meningkatkan keterampilan 4C dalam peserta didik. Peranan sastra untuk meningkatkan keterampilan 4C dalam peserta didik antara lain sebagai berikut.
Keterampilan Abad 21 | Kegiatan Sastra yang Mendukung |
Berpikir kreatif (creative thinking) | Pada tahap mencipta karya sastra (genre apa pun) peserta didik berlatih kemampuan berpikir kreatif. Pada hakikatnya setiap individu memiliki daya cipta di dalam dirinya, sastra di sini membantu untuk memancing dan memotivasi peserta didik untuk mengoptimalkan daya cipta di dalam dirinya.
|
Berpikir kritis (critical thinking) | Pada tahap membaca dan mengapresiasi karya sastra (genre apapun) peserta didik berlatih kemampuan berpikir kritis untuk menemukan makna tersirat, menilai, mengapresiasi dan bahkan menganalisis karya sastra secara ilmiah.
|
Pemecahan masalah (problem solving) | Keterampilan pemecahan masalah dapat tumbuh ketika peserta didik membaca prosa dan persiapan pementasan drama. Ketika membaca prosa, peserta didik belajar untuk mengenali berbagai konflik yang muncul dalam novel maupun cerpen yang mereka. Dari berbagai konflik dan pemecahan masalah dalam prosa tersebut, peserta didik belajar dan mendapat inspirasi dalam memecahkan persoalan hidup. Dalam persiapan pementasan drama, peserta didik berlatih untuk bertanggung jawab dari tahap persiapan, pementasan dan evaluasi pementasan drama.
|
Komunikasi | Keterampilan berkomunikasi tulis peserta didik terasah ketika pembelajaran menulis atau mengarang. Selain itu komunikasi lisan terasah ketika peserta didik memperoleh input dari bacaan sastra yang bermutu. Karena terbiasa membaca sastra bermutu, maka peserta didik juga akan berbicara dengan informasi berkualitas dengan cara yang santun. Selain itu pembelajaran drama, khususnya oleh vokal dan pelafalan juga mengasah keterampilan berkomunikasi lisan peserta didik.
|
Kolaborasi atau kerja sama | Keterampilan berkolaborasi atau kerja sama peserta didik terasah ketik pengajaran drama. Dalam pementasan drama, syarat utama keberhasilan adalah kerja sama semua pihak, baik yang berperan sebagai sutradara, bidang perlengkapan (para pendekor panggung, tim lighting, rias, musing pengiring dan lain-lain) maupun para aktor. |
REFLEKSI
Manusia tidak hanya harus menjadi homo (manusia), dia juga harus menjadi homo yang human, artinya berkebudayaan tinggi. Gambaran manusia berkebudayaan tinggi tersebut dapat dicapai melalui tiga aspek yang harus dikembangkan dalam diri manusia, yaitu logika, etika dan estetika. Proses pengoptimalan logika terakomodasi oleh ilmu sains dan matematika. Sementara aspek etika atau tingkah laku manusia dapat dioptimalkan dengan ilmu filsafat, budaya dan agama. Sedangkan aspek yang ketiga, yakni estetika merupakan aspek puncak dalam diri manusia yang harus dioptimalkan melalui seni, sastra, budaya dan ilmu-ilmu humaniora. Hal itulah dalam pandangan Driyarkara yang disebut sebagai manusia utuh. Dengan demikian tidak mengherankan jika, pendidikan atau mendidik kita sebut sebagai tindakan fundamental atau yang mengubah, menentukan dan mengonstruksi hidup manusia (Driyarkara, 1980, pp. 80-83).
Pandangan Driyarkara di atas jelas menegaskan bahwa pendidikan meliputi tiga aspek, yakni logika yang mengandalkan keterukuran dan kepastian, etika yang berlandaskan baik-buruk, adil-tidak adil, serta patut-tidak patut, serta estetika yang berorientasi pada keindahan dan oleh perasaan. Dalam hal ini pengajaran sastra justru muncul pada tiga aspek yakni ranah berpikir kritis dalam pengajaran sastra mengandalkan logika. Sedangkan aspek etika tercermin pada nilai-nilai sastra yang menumbuhkan kecerdasan sosial, kecerdasan sosial, keterampilan kolaborasi, empati, kesantunan dan toleransi. Pada aspek estetika jelas bahwa sastra sendiri merupakan sebuah karya yang di dalamnya mengandung aspek dulce et utile (mendidik dan menghibur).
Memasuki era 5.0, sejatinya guru mempersiapkan peserta didik untuk keterampilan yang dibutuhkan di masa depan dan menjadikan manusia itu sebagai manusia seutuhnya yang memiliki cipta, rasa, dan karsa. Maka dari itu, mengajar di era 5.0 sebenarnya tidak semata-mata mengenai teknologi. Memang dalam masyarakat 5.0 manusia menjadi pusat penggunaan teknologi. Akan tetapi, keterampilan yang dibutuhkan di masa depan tentu berbeda dengan keterampilan di masa lalu. Di masa depan, banyak hal ditangani oleh komputer, robot, dan kecerdasan buatan. Oleh karena itu, kebutuhan di masa depan adalah kemampuan para peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya, yaitu mengelola dan menggunakan emosi atau perasaan, jiwa, dan kehendak untuk kebaikan umat manusia.
Kemampuan mengelola emosi, jiwa, dan kehendak inilah yang tidak dapat digantikan oleh mesin atau komputer. Menjadi manusia seutuhnya juga mengenal perasaan, jiwa, dan kehendak orang lain. Oleh karena itu, seperti yang diungkapkan Daniel Goleman (2007), yaitu bahwa kecerdasan emosi menjadi kunci, menjadi sangat penting untuk diperhatikan oleh setiap guru.
Dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan metode pengajaran sastra untuk menumbuhkan Pendidikan karakter dan keterampilan abad 21, pembelajaran ini akan berjalan lebih baik apabila:
- Guru memiliki bacaan yang cukup.
- Guru mampu meningkatkan minat peserta didik terhadap sastra.
- Guru menggali potensi peserta didik terkait dengan tiga genre sastra.
- Guru mulai mendesain pembelajaran terkait dengan tiga genre sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang, Y. M. (2018). Fungsi dan Peran Karya Sastra dari Masa ke Masa. Jurnal PRAXIS, vol 1, No. 1, 24-40.
Driyarkara. (1980). Driyarkara Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.
Duhan, R. (2015). The Relationship Between Literature and Society. Language in India, 15 (4), 192-202.
Hadiansah, Deni. (2022). Kurikulum Medeka dan Paradigma Pembelajaran Baru. Bandung: Penerbit Yrama Widya.
Hoosain, S. &. (2001). Multicultural Education: Issues, Policies, and Practices. Grenwich, Conn: Information Age Pub, 1-13.
Kosasih, E. (2012). Dasar-Dasar Bersastra. Bandung: Yrama Widya.
Nurgiyantoro, B. (2015). Teori Pengkajian Fiksi (11 ed). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rismawati. (2017). Perkembangan Sejarah Sastra Indonesia. Darussalam: Bina Karya Akademika.
Saleh, A. R. (2007). Pemetaan Minat Baca Masyarakat: di Tiga Provinsi (Sulawesi Selatan, Riau, dan Kalimantan Selatan). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Satria, M. d. (2024). Panduan Pengembangan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Edisi Revisi). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidian Kemendikbudristek.
Sayuti, S. A. (2003). Citra Estetik Islam dalam Sajak-Sajak Indonesia Mutakhir: Beberapa Catatan Awal. Adakah Bangsa dalam Sastra? Jakarta: Pusat Bahasa.
Setyawan, Sigit. (2023). Teaching 5.0: Metode-Metode Pembelajaran Creative, Collaborative, Communicative, dan Critical Thingking.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Septikasari, R. R. (2018). Keterampilan 4C Abad 21 Dalam Pembelajaran Pendidikan Dasar. Jurnal Tarbiyah Al-Awlad, Vol 8 (2), 112-122.
Sujarwa. (2019). Model dan Paradigma Teori Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Waluyo, H. (2003). Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahapeserta didik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wellek, R. a. (1970). Theory of Literature. New York: A Harvest Book.. Harcourt. Brance and World. Inc.
Wellek, R. a. (1990). Theory of Literature. New York: Harcourt Brance and World.